Pelajar (Mahasiswa) dan Visi Pembangunan Desa
Desa yang merupakan manufaktur (tata laksana) terkecil dari pemerintahan dari sebuah Negara sudah sewajarnya mendapat perhatian yang sama dengan negaranya. Negara (baca : Indonesia) yang terdiri atas 33 propinsi, 425 kabupaten/Kota dan 3.237 kecamatan harus berjalan secara seimbang, artinya mekanisme pemerintahan yang selama ini bersifat teosentris harus bisa mengakomodir kepentingan pemerintah desa, meskipun sekarang hal ini sudah terlihat kentara.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka eksistensi pelajar (mahasiswa) sangat strategis terkait dengan eksistensi sebuah bangsa / Negara, tak terkecuali dengan desa yang merupakan elemen terkecil dari sebuah pemerintahan di Indonesia . Sebuah bangsa / Negara dapat dikatakan maju manakala pemuda (pelajar/mahasiswa) bahu membahu memperjuangkan nasib bangsa itu sendiri. Untuk itu semestinya nasib bangsa ini ada ditangan kaum muda generasi penerus bangsa, begitu juga dengan desa.
Tapi ada semisal kejanggalan di desa dewasa ini, pasalnya pelajar (mahasiswa) yang notabenenya sebagai kaum elit pendidikan yang mengenyam pendidikan di kota enggan atau boleh dikata tak mau lagi kembali ke kampung halamannya usai merampungkan kuliahnya dengan dalih kurangnya lapangan pekerjaan untuk menampung keahliannya dan akhirnya mereka bersama-sama menetap di kota !!!
Ironis memang. Seolah-olah kota adalah segala-galanya. Kalau sudah seperti itu adanya siapa lagi yang akan berjuang untuk mengembangkan sekaligus memajukan desa kita tercinta. Inilah pekerjaan rumah yang harus dicarikan solusinya bersama oleh para pemuda khususnya pelajar (mahasiswa) selaku komponen kaum terpelajar. Sudah saatnya pelajar (mahasiswa) kembali membangun desanya masing-masing demi majunya sebuah bangsa dan Negara. Negara bisa maju jikalau desanya pun maju.